Kompetisi di dunia maya sudah memasuki dimensi baru. Sama seperti medan perang, Korporasi IT selalu menggunakan strategi yang mengejutkan lawan, dalam rangka meraih kemenangan mutlak.
Sering kali, walau pakar business intelligence sangat paham, strategi tersebut sama sekali sukar diduga oleh awam. Jika berkaca dengan perkembangan persaingan antara Google dan Facebook sekarang ini, maka sudah sangat jelas bahwa kedua perusahaan tersebut sudah memasuki 'arena' yang dahulu tabu mereka sentuh.
'Arena' tersebut adalah persaingan simetris, atau 'face to face'. Kedua korporasi tersebut akhirnya bersaing secara simetris di area socmed. Ini suatu keputusan yang sangat berani, mengingat tidak semua korporasi melakukannya.
Jika melihat contoh dialektika Apple dan Microsoft, seperti yang pernah saya tulis di detikINET, mereka pun cenderung menghindari persaingan simetris. Bahkan di area tertentu, terutama pengembangan aplikasi, Microsoft dan Apple bekerja sama.
Akankah Google dan Facebook mengikuti jejak Apple/Microsoft yang memilih untuk pragmatis, ataukah akankah persaingan ini menjadi 'zero sum game'? Mari kita simak.
Google dan Facebook eksis secara paralel di area yang berbeda
Seperti yang kita ketahui, awalnya Google dan Facebook bergerak di 'market' yang sangat berbeda. Google tetap konsisten di 'search engine'nya, sambil mengembangkan produk lain seperti Picasa, Youtube, atau Gmail. Sementara Facebook tetap focus pada socmed, sambil menambahkan fitur yang luar biasa, diantaranya game yang berlimpah.
Selain Facebook, ada juga pendatang baru, yaitu Twitter. Berbeda dengan facebook, Twitter adalah socmed yang minimalis, namun sangat fungsional. Twitter pun tak kalah efektif dengan facebook dalam menggalang pendapat, seperti yang pernah saya tulis di detikINET.
Namun, google pun beberapa kali mencoba bereksperimen dengan socmed. Di antaranya dengan merilis Google Orkut dan Buzz. Namun kedua produk tersebut memiliki user yang terbatas, dan belum dapat disandingkan dengan Facebook ataupun Twitter.
Adapun, secara mengejutkan, Google akhirnya merilis socmed 'full blown', yang sudah 'dipersenjatai' segudang fitur unik. Namanya Google+.
Mengenai detail fitur-fitur tersebut sudah dibahas secara lengkap di detikINET. Berbeda dengan Twitter, yang memang sampai sekarang tetap design minimalis, sasaran Google bukan ke arah itu.
Justru Google plus diposisikan untuk bersaing melawan Facebook. Namun yang menarik, adalah bagaimana secara bisnis, respon facebook terhadap semua ini? Respon tersebut sudah dapat ditebak, yaitu resistensi.
Facebook: Mencari strategi resistensi
Melihat tantangan dari pihak Google ini, memang Facebook tidak memiliki banyak pilihan. Google mengajak Facebook untuk berkompetisi secara langsung, oleh karena itu harus dihadapi dengan resistensi simetris juga.
Google, yang didukung oleh 'pasukan' pendukung Open Source ini, memang bukan kompetitor sembarangan. Google memiliki 'pasukan' programmer yang terbaik, dan tentu ini harus dihadapi. Pada akhirnya, Facebook pun memilih langkah klasik, yang sebenarnya juga dilakukan oleh pihak lain. Yang dilakukan adalah proteksi data mereka.
Kisah ini tidak beda dengan protokol security web developer, dalam menghadapi cracker. Ada dua tools yang dikembangkan developer open source, untuk mengekspor friend facebook ke Google plus, yaitu Open-Xchange dan Facebook Friend Exporter. Kedua tools ini telah diblok oleh pihak facebook, dengan men-disabled API key-nya.
Developer kedua tools tersebut mengklaim, bahwa mereka sama sekali tidak berniat untuk melanggar license agreement dengan Facebook. Bahkan, CEO Open-Xchange Rafael Laguna menyatakan keheranannya dengan kebijakan blocking ini. Menurutnya, apa yang dikembangkan pihak dia sama sekali tidak ada yang baru, bahkan sudah dikembangkan oleh facebook sendiri.
Laguna menjelaskan, bahwa sebenarnya facebook sudah punya fitur ekspor data sendiri, via 'Account->Account Settings->Download Your Information' yang menghasilkan file friend.html. Mereka hanya mempermudah proses ekspor datanya saja, dengan UI yang jauh lebih user friendly.
Namun, menurut beberapa pengamat, masalahnya bukan terletak pada pelanggaran license agreement atau bukan. Masalahnya, tools-tools sejenis itu, akan dapat dengan mudah digunakan untuk mengekspor data friends/privasi facebook ke Google+. Facebook harus berusaha keras, supaya jangan sampai hal ini terjadi.
Strategi resistensi mereka terapkan untuk menghambat ekspor data friends facebook ke Google plus. Namun, pertanyaannya, sampai kapan strategi ini dapat efektif berjalan?
Apakah strategi resistensi seperti ini, di mana terjadi adu hacking, pihak yang satu mencegah ekspor data, sementara yang lain justru ingin mining data besar-besaran, bisa efektif untuk membendung Google plus?
Sejarah: Apple akhirnya bekerja sama dengan Microsoft
Jika melihat sejarah IT, strategi resistensi seperti itu sangatlah kontraproduktif. Ending dari strategi resistensi seperti ini, adalah 'zero sum game', di mana pihak yang satu menang, yang lain kalah. Sudah saya jelaskan pada artikel lawas, akhirnya Apple dan Microsoft yang bersitegang pun bekerja sama.
Dahulu, Apple ingin menerapkan 'zero sum game' melawan Microsoft. Namun strategi ini gagal total, dan berakibat Apple berada di ambang kebangkrutan.
Ironisnya, akhirnya Apple memanggil Steve Jobs, yang dahulu mereka depak, untuk menjadi CEO kembali. Kemudian, di sebuah event dramatis Macworld 1997, Steve Jobs mengumumkan kerja sama dengan Microsoft. Bahkan saat itu Bill Gates mendapatkan kesempatan video conferencing.
Steve Jobs, sebagai Manajer yang sangat berpengalaman, sangat sadar kalau 'zero sum game' akan sangat kontradiktif. Sebagai orang yang sangat rasional, Jobs sadar bahwa dunia IT tidak mungkin hanya mempertimbangan wacana 'computer scientist' murni, tanpa mempertimbangkan analis bisnis yang rasional.
Oleh karena itu, strategi survival Apple harus dibuat lebih 'cerdas', yaitu bekerjasama (dalam bidang tertentu) dengan Microsoft. Contoh kerjasama ini adalah pengembangan aplikasi MacOffice 2011 (Microsoft Office), yang memiliki kompatibiltas 100% dengan versi Windows. Lalu, bagaimana dengan Google dan Facebook? Akankah mereka ambil langkah yang sama?
'Narasi Besar' adalah ketika semua bersatu
Francois Lyotard, Filusuf Perancis, berpendapat bahwa 'Narasi Besar' merupakan suatu wacana hegemonik, yang mendominasi seluruh kehidupan publik. 'Narasi Besar' ini tidak harus secara moral bersifat negatif, namun ia haruslah sangat berpengaruh.
Salah satu manifestasi 'Narasi Besar' ini pernah dijabarkan dengan sangat gamblang oleh sastrawan Inggris George Orwell, pada novel '1984'. Novel ini bercerita mengenai pemerintahan totaliter, yang mengendalikan seluruh aspek kehidupan.
Tentu saja, jika kita mengacu pada dunia IT, 'Narasi Besar' totaliter model '1984' boleh dibilang tidak akan pernah ada. Mengapa? Sebab Open Source memungkinkan User memiliki independensi penuh, dalam menentukan pilihannya.
Namun sadarkah kita, bahwa sesungguhnya pilihan kita tidak banyak? Sadarkah, bahwa dalam memilih platform, kita akan menggunakan Windows untuk kerja kantoran, Macintosh untuk design, dan Linux untuk 'hardcore computer science'? Bukankah hanya itu pilihan kita?
Namun, wacana tersebut menjadi semakin kompleks, ketika dialektika yang terjadi tidak hanya melibatkan platform sistem operasi, namun juga pada socmed.
Sama seperti Microsoft, Apple, dan (berbagai distro) Linux, mereka pun berhasil menemukan 'niche' nya sendiri, dan menjadi penguasa di 'niche' tersebut. Mereka menjadi 'Narasi besar' di 'niche-niche' masing-masing, dan ini jelas sesuatu yang sangat positif, mengingat user akan mendapat benefit luar biasa dari besarnya niche mereka sendiri.
Kuncinya di sini adalah menguasai niche masing-masing. Adapun, gabungan dari berbagai niche spesifik tersebut, akhirnya menjadi 'Narasi besar' sendiri. Hal itu karena mau tidak mau mereka harus kerja sama, atau minimal melakukan koeksistensi damai.
Hal itu yang selama ini dilakukan Microsoft, Apple, dan Linux. Ketiga pihak tersebut bekerja sama, minimal kerja sama tersebut dalam bentuk koeksistensi damai.
Bagaimana dengan Google dan Facebook? Sebagai 'raksasa' di dunia maya, tentu saja Google dan Facebook memiliki niche nya sendiri.
Sampai sekarang, dan untuk waktu yang sangat lama, Facebook sangat sukar ditandingi jika melihat ketersediaan game dan aplikasi pendukungnya. Sementara itu, Google memiliki basis yang sangat kuat di komunitas Open Source dan 'hardcore computer scientist'.
Apakah kedua komunitas ini harus 'bertabrakan' dan satu sama lain saling menghancurkan? Rasanya tidak harus begitu. Dalam bisnis, pragmatisme adalah wacana paling dominan.
Kedua pihak tersebut, selain computer scientist, juga memiliki analis bisnis yang canggih. Tentu termasuk juga pakar Business intelligence. Saya sangat yakin, bahwa dengan kajian apa- pun, 'zero sum game' sama sekali tidak bermanfaat.
Alhasil, jika analis bisnis kedua perusahaan tersebut masih tetap rasional dan pragmatis, maka opsi kerja sama, atau minimal koeksistensi damai akan menjadi pilihan paling optimum. Tentu jika pilihan ini diambil, user juga akan tetap diuntungkan.\
Sumber:Detik.com
0 komentar:
Posting Komentar